Aku hanya segelas air di mejamu, tapi kau teguk seolah aku samudra.
Kau mencelupkan jiwamu, hingga aku tumpah dari batas wujudku.
Katamu, aku terlalu mudah berubah.
Padahal aku hanya merespons suhu tanganmu yang datang kadang hangat, kadang dingin tanpa pemberitahuan.
Kau beri aku nama kesetiaan, namun tak pernah mengisi ulang.
Kau biarkan aku menguap perlahan, lalu menyalahkanku karena tak lagi cukup untuk memadamkan api yang kau nyalakan sendiri.
Aku pernah bernapas melalui tatapanmu, tapi matamu kini lebih akrab dengan bayangan dirimu sendiri.
Kau bercermin dalam aku, lalu kecewa karena pantulannya tak seindah yang kau bayangkan.
Kau meminta ketenangan dari gelas yang hampir retak, sementara kau sendiri menggenggamnya terlalu erat.
Dan saat aku pecah,
kau bilang aku terlalu rapuh untuk menjagamu.