Cherreads

Chapter 26 - Bab 26 - Gerbang yang Tak Diketuk

Beberapa hari setelah kejadian di Niralasa, perjalanan kembali dilanjutkan. Tapi kali ini tanpa Chandani. Perwakilan dari Asrama Aralama telah datang menjemputnya, membawa serta segala keraguan dan ketakutan yang belum sempat diucapkan. Sorot mata Chandani sempat memohon agar diizinkan tinggal, namun Radeeva dan Bhirendra sepakat, tidak ada ruang untuk keraguan dalam misi yang terus menjauh dari batas wajar.

Terlebih lagi, hubungan mereka dengan Reina belum benar-benar pulih. Luka yang menganga antara rasa percaya dan tuduhan masih terlalu basah untuk dijahit.

Di tengah jalur berkuda yang sunyi, dengan langit menggantung kelabu, Radeeva membuka peta lusuhnya dan menggumam, "Tujuan berikutnya Gerbang Petaka. Sebuah celah purba di barat laut Swantara. Konon, Salaka Dirgha, Tombak Pelindung Batas, disimpan di sana, dijaga oleh Wisesa Dirgha, raksasa bermata tiga yang menguji ketakutan terdalam dari jiwa yang dianggap layak."

Reina menoleh sedikit. Rambutnya yang dikuncir kebelakang melambai-lambai tertiup angin pegunungan. “Berapa lama waktu tempuh kita ke sana?” tanyanya dengan penuh keseriusan.

Radeeva berpikir sejenak, menghitung jalur yang harus mereka lalui. “Kurang lebih sepuluh hari, jika tidak ada halangan.”

Tanpa menunggu lebih jauh, Reina berkata, “Kalau begitu kita harus memangkasnya. Mungkin enam sampai tujuh hari.”

Nada suaranya datar, namun tekanannya tegas. Seolah misi lebih penting daripada napasnya sendiri dan bagi Bhirendra, ucapan itu terdengar seperti gema dari malam terakhir di Lembayung Niralasa, ketika kata-kata mereka saling melukai, dan Reina menutup pintu dengan keheningan yang lebih tajam dari sihir.

Ia tahu Reina telah berubah. Kukuh. Dingin. Terlalu dalam menyimpan luka hingga tak menyisakan ruang untuk kelembutan dan itu justru membuat dada Bhirendra terasa lebih sesak daripada ketika ia ditikam oleh pedang sungguhan.

Selama enam hari berikutnya, mereka bertiga menempuh perjalanan panjang dalam diam. Tidak ada percakapan yang berarti, tidak ada tawa yang terselip. Reina dan Bhirendra saling diam bagai dua kutub yang beku. Hanya Radeeva yang sesekali mencoba membuka pembicaraan ringan, namun tak satu pun dari mereka yang menggubrisnya lebih dari sekadar anggukan singkat.

Radeeva merasa terjepit di antara dua sosok keras kepala, satu terlalu sunyi, satu lagi terlalu terluka. Ia mulai muak dengan ketegangan yang terus menggantung di udara.

Demi langit, apakah pria ini lahir dari kristal es keabadian? batinnya saat melirik Bhirendra yang terus melaju tanpa menoleh sedikit pun.

Seandainya Bhirendra bisa mempelajari satu atau dua hal saja dari dirinya tentang bagaimana memperlakukan perempuan, mungkin semuanya tak akan setegang ini. Tapi Bhirendra tetap Bhirendra. Dingin, kaku, dan terlalu setia pada logika. Ia tak mengerti bahwa perempuan bukan hanya soal strategi perlindungan, tapi juga tentang didengarkan dan diyakini.

Dia seperti tak tahu bahwa seorang perempuan bisa terluka lebih dalam oleh diam, gumam Radeeva dalam hati sambil menggenggam tali kekang kudanya lebih erat.

Meski ia ingin mengutuk, ia juga tahu: tak ada yang mudah dalam perjalanan ini, terutama ketika luka yang dibawa bukan hanya di tubuh, tapi di dalam dada masing-masing.

Namun senyum Radeeva perlahan terbit kembali, tipis, nyaris tak kasatmata seperti bayangan yang muncul saat cahaya meredup. Ada sesuatu yang ganjil tapi hangat di dalam dirinya. Rasa puas yang tak selayaknya tumbuh, namun tetap ia biarkan.

Selama ini, bukankah ia ingin melihat Bhirendra seperti itu?

Rapuh. Terpojok oleh rasa yang tak bisa ia kendalikan. Terkurung dalam sesal yang tak bisa ditebas pedang dan kini pria berhati es itu benar-benar merasakannya. Sunyi di dalam, tak tergapai siapa pun. Sendiri, meski tidak sendiri.

Akhirnya kau tahu rasanya, Bhira, batin Radeeva, sinis. Bagaimana terjebak dalam sesuatu yang tak bisa kau lawan hanya dengan kehormatan.

Ia mendesak kudanya maju, ingin menyusul Reina yang lebih dahulu berada di depan. Tapi belum sempat langkahnya jauh, udara berubah.

Angin yang tadi lembut kini berdesir dingin, membawa aroma basah yang asing, seperti daun tua yang dibenamkan oleh aliran waktu. Langit, yang barusan biru, menggumpal gelap. Awan berlipat-lipat seperti tumpukan amarah yang enggan hilang, menggulung dari arah utara dengan cara yang tidak wajar. Seperti ditarik oleh sesuatu dari luar dunia.

Tanpa perintah, kuda-kuda mereka meringkik dan melambat. Bhirendra langsung bereaksi. Ia menghentak tali kekang kudanya, maju dengan cepat dan tegas ke sisi Reina. Sorot matanya menyapu langit.

"Ada yang datang," gumamnya pelan tapi nadanya seperti batu yang dilempar ke danau tenang, memecah kesunyian.

Udara menebal, layaknya tengah menghirup kabut besi yang semakin pekat. Angin berhenti tiba-tiba, seolah dunia pun sedang menahan napasnya.

"Radeeva," ujar Bhirendra tanpa menoleh, tanpa gelar, tanpa basa-basi. "Siapkan sihirmu. Sekarang."

Radeeva sempat mengerling, merasa kesal karena tak diberi penghormatan. Tapi ada sesuatu dalam nada Bhirendra yang membuatnya mengabaikan ego, nada yang hanya muncul saat bahaya nyata menghampiri.

Keduanya mengangkat tangan. Aura hijau tua menyebar dari tubuh Radeeva, seperti kabut malam yang membalut tanah. Sementara dari tangan Bhirendra, pancaran biru safir muncul, terang, tegang, seperti kaca yang menahan badai. Dua lapisan pelindung itu menyatu, membentuk kubah yang berpendar dan berdengung halus di udara, seperti mantra tua yang membisikkan peringatan.

Di luar kubah, langit mendadak bergetar dan dari sana muncullah sosoknya.

Jagrasa.

Seekor burung hitam sebesar kuda perang, tubuhnya dilapisi bulu pekat yang tampak seperti asap cair. Sayapnya merentang lebar, melayang tanpa mengepak seolah udara tunduk kepadanya. Matanya merah menyala. Tapi bukan merah biasa, itu merah kelam, merah yang lahir dari dendam panjang, dari amarah yang tidak pernah bisa mati.

Dari bawah paruh bengkoknya tergantung jengger merah darah, berdenyut lembap seperti organ hidup. Bau busuk merebak dari sana begitu tajam dan menyesakkan, seperti bangkai yang dikubur setengah di tanah basah.

Reina mendongak, menahan napas. Bulu kuduknya meremang. "Makhluk apa lagi ini…?" bisiknya, nyaris tak terdengar.

Bhirendra menyipitkan mata, tetap berdiri di hadapan gadis itu. "Jagrasa," jawabnya, tenang namun waspada. "Burung langit pemakan kebencian. Ia hidup dari amarah yang tak diucapkan… dan akan mencabik siapa pun yang menyimpannya terlalu lama."

Radeeva menambahkan, matanya menajam ke arah rintik yang mulai turun dari langit. "Dan yang menetes itu adalah Udan Tiris. Siluman air yang menghisap kemudaan. Jika terkena hujannya terlalu lama, tubuh kita akan menua lebih cepat dari waktu."

Reina mencoba tersenyum, mencoba bercanda dalam rasa takut. "Kupikir kalian memang sudah tua sejak awal."

Tapi, tak ada tawa. Kedua rekannya itu tampak serius menahan pondasi sihir yang mulai terlihat lemah.

Di sekeliling mereka, titik-titik hujan mulai jatuh namun tidak menyentuh tanah, melainkan berdesis di permukaan kubah sihir, meleleh seperti asam di atas kaca suci.

Langit menggelegar sekali lagi. Jagrasa menukik dari langit seperti anak panah yang dilepaskan para dewa—cepat, mematikan, dan tak memberi waktu untuk bernapas.

Kubah pelindung terakhir yang dibentuk oleh Bhirendra dan Radeeva bergetar hebat, lalu pecah dalam sorot cahaya menyilaukan. Ledakannya membubung tinggi ke udara, menghempaskan tanah dan dedaunan di sekeliling. Namun, sebelum tetesan air Udan Tiris menyentuh kulit mereka, sebuah cahaya lain memancar dari tubuh Reina.

Cermin Arupa yang tersembunyi dalam Cakra Adhiwara, terpantul dari cincin di jari manis Reina dalam semburat kehijauan lembut, membentuk selaput pelindung tak kasatmata. Kilau itu membungkus mereka bertiga, menolak air, angin, dan sihir hitam yang melingkupi pertempuran.

Udan Tiris yang mencoba menyusup lewat celah-celah sihir itu mendesis keras, lalu luruh ke tanah, mengepul seperti kabut terbakar.

“Sekarang!” seru Bhirendra, tubuhnya melesat bagaikan tombak hidup ke arah Jagrasa.

Pertarungan pun pecah. Tiga lawan satu, namun tidak pernah terasa seimbang.

Jagrasa bukan makhluk biasa. Tiap kali ia mengepakkan sayap, angin terpukul keluar seperti gelombang badai, menghantam tanah dan menggoyang pepohonan. Suara paruhnya mencicit tajam, cukup untuk memekakkan telinga.

Radeeva bergerak cepat di sisi kiri, melontarkan semburan sihir hijau yang melesat bagai akar-akar bercahaya, mencoba mengikat tubuh sang burung iblis. Tapi bulu Jagrasa menepisnya dengan mudah, seperti kabut yang menembus kabut lainnya.

Bhirendra menyerang dari kanan. Pedangnya memantulkan cahaya petir, tiap tebasannya menciptakan retakan udara, mencoba menebas leher makhluk raksasa itu. Namun Jagrasa tak diam. Ia memutar di udara, menukik dengan cakar hitamnya, nyaris mencabik bahu Reina andai Bhirendra tidak menahan pukulan itu dengan tubuhnya sendiri.

Reina berdiri di tengah, bukan tanpa daya, namun masih belum sepenuhnya memahami bagaimana cara mengendalikan kekuatan yang menggeliat di dalam dirinya. Cakra Adhiwara bersinar tapi tak mematuhi. Belum.

Lalu, tiba-tiba, Jagrasa membuka paruhnya selebar mungkin membuat udara bergemuruh. Langit berubah seperti ditarik dan angin seperti tersedot dengan kekuatan yang tak tertandingi. Tanah, daun, serpihan sihir dan tubuh Reina pun ikut tersedot dalam pusaran itu.

“REINA!” seru Radeeva dan Bhirendra nyaris bersamaan.

Akan tetapi hanya Bhirendra yang sempat melompat, merengkuh tubuh Reina dalam dekapannya. Keduanya tersedot dalam satu tarikan mengerikan, langsung ke dalam paruh Jagrasa.

Dalam sekejap, makhluk itu melesat ke udara. Semakin tinggi, semakin jauh, lalu menghilang di balik celah awan hitam, bersamaan dengan sirnanya hujan Udan Tiris dan asap sihir di sekeliling mereka.

Hening.

Begitu sunyi hingga Radeeva bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ia berdiri sendiri di atas tanah yang basah, matanya menatap langit kosong di mana tadi makhluk itu menghilang, dan bersama dengannya, dua sosok yang tak sempat ia genggam.

More Chapters