Cherreads

Chapter 13 - BAB 13 – YANG TAK PERNAH TERCATAT

Pagi itu, Angga menyusuri gang kecil di pinggiran kota Bekasi, mengikuti titik merah di Google Maps yang dikirim oleh Bima malam sebelumnya. Menurut arsip lama yang berhasil dibobol dari server kampus, Windi pernah tinggal di rumah kontrakan milik pamanny- yang kini sudah lama kosong.

“Jalan Dahlia 47A,” gumam Angga sambil menatap plang kecil di tembok kusam.

Rumah itu terlihat seperti rumah pada umumnya tidak menyeramkan, tak ada aura kelam. Justru terasa terlalu biasa, hingga nyaris menyedihkan. Cat dindingnya sudah pudar, pagar besi berkarat, dan daun pintu kayunya sedikit retak di bagian bawah.

Dengan sedikit dorongan, pagar berderit membuka.

Tak ada suara. Tak ada orang.

Angga melangkah masuk dengan hati-hati, melewati halaman berumput liar. Udara pagi membawa bau tanah basah dan kayu lapuk.

Saat menyentuh gagang pintu, telapak tangannya terasa dingin. Bukan dingin biasa tapi seperti disentuh dari dalam. Ia menelan ludah dan mendorong pintu pelan.

Ruangan dalam rumah itu gelap, namun sinar matahari menerobos dari sela jendela berdebu. Debu-debu beterbangan di udara seperti serpihan waktu yang terperangkap.

Semuanya masih ada.

Satu set sofa tua.

Meja belajar di pojok.

Rak buku kecil penuh novel roman remaja.

Dan di atas meja rias sederhana terdapat boneka kecil berwarna merah muda.

Angga mendekat.

Ia mengenali boneka itu dari salah satu kenangan yang ditunjukkan Windi saat mereka di lorong boneka kelinci bernama Mimi, pemberian almarhum ibunya.

Ia menyentuhnya pelan.

Dan saat itu… suara lembut terdengar di belakangnya.

“Gue kira tempat ini udah hancur.”

Angga menoleh.

Windi berdiri di dekat pintu, tampak lebih nyata dari biasanya. Wajahnya muram, matanya tak berkedip.

“Ini rumah lo?” tanya Angga pelan.

Windi mengangguk.

“Tempat terakhir gue ngerasa hidup.”

---

Angga duduk perlahan di lantai, bersandar pada rak buku kecil. Di hadapannya, Windi berdiri dengan tangan terlipat di depan dada, menatap ruang tamu itu seperti sedang menonton masa lalu yang tidak bisa disentuh lagi.

“Waktu kecil gue suka banget duduk di situ,” kata Windi, menunjuk kursi rotan di dekat jendela. “Baca novel picisan sambil nyalain radio. Kadang nungguin paman pulang, kadang cuma ngelamun.”

Angga menoleh ke arah yang ditunjuk. Di bawah bantalan kursi, tampak ada sesuatu yang mengganjal. Ia menariknya perlahan.

Sebuah buku kecil bersampul ungu, agak kusam tapi masih utuh. Di sudut kanan atasnya tertulis dengan spidol hitam:

“Diary Windi – Rahasia (Jangan dibaca kecuali kamu gue suka )”

Angga tersenyum tipis. “Lucu juga lo dulu.”

Windi nyaris tersenyum, tapi tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap buku itu dengan tatapan yang sulit dijelaskan antara nostalgia dan luka.

Angga membuka halaman pertama. Tulisan tangan Windi rapi, penuh emotikon remaja, dan beberapa coretan lebay khas anak SMA.

“Hari ini aku lihat cowok ganteng di kantin. Tapi kayaknya dia pacaran sama anak arsitektur. KZL.”

“Paman bilang jangan pulang malam. Tapi kuliah sore terus. Capek, tapi seru. Kampus lumayan horor kalo malem.”

“Alvan ngajak diskusi soal ‘energi spiritual’. Aneh sih, tapi dia sopan dan pinter. Aku penasaran juga... kayaknya aku sensitif hal-hal gaib.”

Angga menatap Windi. “Lo emang tertarik sama dunia spiritual dari dulu?”

Windi duduk di lantai, menyilangkan kaki. “Gue pernah kerasukan waktu SMP. Sejak itu, kayak... ada pintu yang kebuka. Tapi gue gak pernah ngerti maksudnya apa.”

Angga membalik halaman-halaman berikutnya. Semakin ke akhir, tulisannya makin serius.

“Tadi malam kami uji coba ‘penglihatan paralel’. Gue ditutup matanya dan disuruh baca isi pikiran Alvan. Aneh banget, tapi... gue ngelihat tempat yang gak pernah gue datangi. Lorong hitam. Suara-suara tangis. Dan... sesosok tinggi di pojok ruangan.”

“Alvan bilang itu gerbang. Dia bilang gue cocok buat ‘membuka’.”

Angga membacanya dengan napas tertahan. Windi menunduk.

“Gue pikir itu cuma eksperimen iseng. Tapi ternyata... enggak.”

---

Angga menutup buku harian itu perlahan. Tangannya gemetar ringan, bukan karena takut, tapi karena beratnya kenyataan yang perlahan terungkap.

“Lo gak sadar lo dijadiin... semacam alat?” tanyanya pelan.

Windi menatap lurus ke arah meja belajar lamanya. “Awalnya enggak. Alvan selalu ngomong pakai kata-kata ilmiah, filosofis, spiritual. Dia bikin semuanya terdengar keren, berkelas, penting. Kayak... gue punya misi.”

Angga mendekat dan duduk di lantai, sejajar dengannya. “Tapi setelah lo masuk ke... lorong itu, apa yang terjadi?”

Windi menatapnya. Matanya tampak lebih gelap hari ini, seolah kabut dari dunia lain perlahan merayap ke pupilnya.

“Gue gak langsung mati, Ga.”

Kalimat itu membuat Angga diam.

“Aku... pergi ke tempat itu, ke sisi lain, saat ritual terakhir. Gue bisa lihat semuanya dari luar tubuh gue. Tapi waktu gue coba balik... tubuh gue udah gak bisa dipakai lagi. Gue... tersangkut. Di tengah.”

Suara Windi parau, nyaris bergetar.

“Paman gue nemuin tubuh gue udah gak bernyawa dua hari kemudian. Tapi waktu itu gak ada luka. Gak ada penyebab kematian. Mereka bilang gagal jantung. Padahal... gue cuma gak bisa masuk lagi ke tubuh gue sendiri.”

Angga terdiam.

Baru kali ini Windi membuka luka terdalamnya. Bukan hanya tentang kematian, tapi tentang kehilangan identitas. Tentang terperangkap di antara dua dunia tanpa tahu caranya kembali.

“Jadi lo gak dibunuh?” tanya Angga pelan.

Windi menggeleng, lalu mengangguk. “Enggak... dan iya. Tubuh gue... mungkin gak dibunuh. Tapi jiwa gue? Dicuri. Dipaksa masuk ke tempat yang seharusnya gak dimasukin siapa pun.”

“Dan Alvan tahu?”

Windi menatap Angga dengan pandangan tajam, nyaris pahit.

“Alvan tahu semua. Dan dia biarin.”

Angga mengepalkan tangan.

Di luar, suara angin bertiup lembut, menggetarkan daun-daun kering yang menumpuk di halaman. Rumah itu masih berdiri diam menyimpan cerita yang tak pernah dicatat siapa pun.

Angga menoleh lagi ke Windi.

“Kenapa lo tetap bantuin gue sekarang? Kenapa gak balas dendam ke dia?”

Windi tersenyum kecil. “Karena waktu gue ngeliat lo... pertama kali di KM 67, lo gak takut sama gue. Lo denger suara gue. Lo jawab. Dan untuk pertama kalinya... gue ngerasa gak sendirian.”

Angga menunduk. Ada sesuatu di dadanya yang hangat dan getir bercampur.

Windi melanjutkan, lebih pelan, “Gue mungkin udah mati. Tapi bukan berarti gue gak bisa milih untuk... percaya lagi.”

---

Sinar matahari siang menerobos masuk dari sela-sela tirai yang sobek. Debu beterbangan di udara, mengambang seperti partikel masa lalu yang belum selesai mengendap.

Angga berdiri dan berjalan ke meja belajar Windi. Di atasnya, ada tumpukan buku catatan kuliah yang sudah menguning, sebagian bahkan masih mencantumkan nama dosen dan mata kuliah.

Ia membuka salah satu buku. Di halaman terakhir, terselip secarik kertas kecil berisi tulisan tangan:

“Jika ini semua gagal, aku akan meninggalkan petunjuk terakhir di tempat kita pertama kali bicara soal ‘batas dunia’. Kalau kamu temukan ini, berarti aku sudah tidak kembali.”

Angga menatap Windi. “Lo nulis ini?”

Windi mengangguk. “Itu malam sebelum ritual terakhir. Gue udah ngerasa sesuatu gak beres. Tapi tetap gue jalani.”

“Tempat pertama kali lo bahas soal batas dunia sama Alvan?” ulang Angga.

“Perpustakaan kampus lama,” jawab Windi. “Lantai tiga, rak pojok tempat buku-buku tua yang udah gak dipinjam siapa pun.”

Angga langsung memotret tulisan itu dengan ponselnya.

Lalu, saat ia membalik halaman buku catatan itu, sesuatu menarik perhatiannya.

Di bagian dalam sampul belakang, ada sketsa simbol aneh: sebuah lingkaran dengan tiga garis memutar di tengahnya. Tapi kali ini, ada tambahan garis melintang di tengah simbol.

Angga membuka sedikit kerah bajunya.

Tanda di lehernya… kini juga punya garis tambahan.

“Garis ini baru muncul semalam,” gumamnya.

Windi menatap simbol itu. Wajahnya berubah tegang. “Kalau simbolnya udah lengkap, berarti ‘gerbang’ yang dulu pernah terbuka… mulai kebuka lagi.”

Angga menoleh cepat. “Apa maksudnya?”

“Lo bukan cuma terhubung ke gue, Ga,” jawab Windi pelan. “Lo juga mulai terhubung ke tempat itu. Dan semakin banyak lo tahu... lo semakin dekat ke titik gak bisa balik.”

Angga mengatupkan rahangnya. “Kalau gue gak bisa balik, gue tarik lo keluar bareng.”

Windi tersenyum tipis. Matanya berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat memalingkan wajah.

“Kita lihat nanti,” katanya. “Tapi kalau lo bisa selesaikan ini... janji satu hal.”

“Apa?”

“Biarin gue pergi. Jangan tahan gue terus.”

Angga tak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.

Dan di luar rumah yang sunyi itu, angin kembali berembus pelan.

Sesuatu telah bergerak.

Dan tak bisa lagi dihentikan.

---

More Chapters