Angin utara menggigit kulit seperti bilah pisau tipis. Di perbatasan antara wilayah Eldrin dan manusia, sebuah pos perdamaian berdiri rapuh: Menara Daun Perak, sebuah pos diplomatik tempat ras-ras bertemu untuk mengelola distribusi Etherion secara adil.
Di pagi itu, Menara terlihat seperti biasa. Burung-burung mekanik melintasi langit membawa laporan, dan suara obrolan dari berbagai bahasa ras menggema di aula.
Namun ada satu yang berbeda: bau asap. Tipis. Halus. Tapi… asing.
Penjaga Eldrin bernama Kelaar melangkah keluar dari menara dan mendapati sesuatu yang membuatnya membeku: simbol merah menyala tergurat di dinding luar menara. Simbol dari kelompok Velgar—lingkaran terbalik dengan api hitam di tengah.
Kelaar berteriak. Namun suaranya terlambat.
Ledakan meledak dari sisi timur menara, mengguncang struktur bangunan hingga ke pondasi.
Aula utama runtuh sebagian. Etherion yang tersimpan dalam kapsul-kapsul aman mulai bocor, menciptakan badai energi tak terkendali yang memukul semua makhluk hidup di dalam radius lima puluh meter.
Di tempat lain, Roky mendengar berita penyerangan itu dari komunikasi darurat. Wajahnya mengeras. Itu bukan hanya serangan teroris. Itu adalah pernyataan perang.
Teya yang berada di dekatnya bergumam pelan, "Velgar mulai bermain di wilayah simbolik. Menara Daun Perak adalah lambang perdamaian antara Eldrin dan manusia."
"Dan dia tahu," tambah Garron, "kalau dia berhasil mengguncang dua ras besar itu, maka fondasi dunia akan goyah."
Roky berdiri. Ia memandang semua orang di dalam ruang pertemuan darurat. "Kita tidak bisa hanya membalas dengan kekuatan. Kita harus membalas dengan makna. Tapi sebelum itu—"
Del memotong, "Kita harus selamat dulu."
Malam itu, kamp ekspedisi mereka diserang oleh bayangan kabut—serangan khas Siluet. Kabut ini bukan sekadar uap. Ia merayap, membisikkan keraguan dan ketakutan, lalu memperkuatnya hingga menjadi nyata. Beberapa anggota tim mulai berhalusinasi.
Salah satunya adalah Liria.
Ia melihat sosok ibunya—yang telah lama mati—berjalan mendekat dengan wajah penuh luka, berkata pelan, "Mengapa kau membiarkan rumah kita hancur, Liria?"
Liria berteriak dan hampir menusukkan pedangnya pada Garron, yang ia lihat sebagai musuh. Untungnya, Faenil menghentikannya dengan mantra pemurnian.
Roky memeluk Liria, berbisik, "Kau tidak sendiri. Dengarkan suara kami. Jangan dengarkan bayangan itu."
Pelan-pelan, kabut menghilang, namun tidak tanpa bekas. Tiga anggota tim mengalami gangguan mental ringan, dua lainnya harus dikarantina karena tubuhnya mulai menyerap fragmen energi hitam yang belum dikenali.
Del menyimpulkan, "Kita tak bisa bertahan lama dengan kondisi ini. Setiap kali mereka menyerang, kita bukan hanya kehilangan pasukan. Kita kehilangan kepercayaan diri."
"Dan itu senjata utama mereka," sahut Faenil.
Sementara itu di tempat rahasia di Pegunungan Ekaris, Velgar tengah berdiskusi dengan seorang tokoh misterius berjubah ungu tua, wajahnya tersembunyi. Ia bukan bagian dari sembilan ras, tapi memiliki aura yang membuat udara terasa… menyempit.
"Perangmu melambat, Velgar," kata sosok itu.
Velgar menunduk. "Saya sedang menciptakan keretakan yang cukup dalam. Kalau terlalu cepat, mereka akan bersatu kembali dengan lebih kuat."
"Dan kalau terlalu lambat," jawab sosok itu sambil menyentuh pecahan Etherion hitam di tangannya, "kita akan kehilangan momentum. Ingat perjanjian kita. Kau menyebar benih perpecahan. Aku… yang akan menumbuhkan apinya."
Velgar tidak menjawab. Tapi matanya menyala lebih merah dari sebelumnya.
Di sisi lain, Roky dan tim berhasil menerobos ke ruang bawah di kompleks kuno, tempat di mana akar Etherion mengalir dalam bentuk sungai cahaya. Mereka menemukan prasasti kuno, dan setelah dibersihkan, terlihat ukiran gambar sembilan ras berdiri bersama mengelilingi sosok asing berkepala dua.
"Siapa dia?" tanya Teya.
Del menjawab setelah membaca mantra pemanggil naskah purba. "Namanya dalam bahasa kuno adalah Izhkar. Ia disebut 'Penimbang Zaman'. Mahluk purba yang memegang keseimbangan antara terang dan gelap. Ia tidak baik, tidak jahat. Tapi selalu hadir saat dunia nyaris pecah."
Roky menggigit bibirnya. "Apakah… dia kembali?"
"Atau," sahut Faenil pelan, "apakah Velgar mencoba membangkitkannya?"
Ketegangan meningkat. Laporan dari berbagai wilayah menyebutkan gelombang migrasi paksa, pembakaran permukiman netral, dan perekrutan milisi rahasia oleh para simpatisan Velgar.
Ras-ras mulai saling curiga. Koalisi yang selama ini dijaga Roky dan tim mulai retak.
Di Ibukota Tengah, para delegasi saling tuding. Eldrin menuduh manusia lalai menjaga Menara Daun Perak. Manusia membalas, menyebut Eldrin menyimpan senjata Etherion tanpa izin. Ras Ghaelor menarik perwakilannya dari dewan persatuan.
Roky dipanggil ke tengah forum. Suasana panas.
"Apakah ini yang kalian inginkan?" teriak Roky lantang. "Perpecahan sebelum musuh menampakkan wajahnya sepenuhnya?"
Seseorang membalas, "Mungkin musuhnya ada di antara kita!"
"Justru karena kalian bicara seperti itu, musuhnya menang," balas Roky dingin.
Ruangan hening.
Lalu perlahan, beberapa kepala menunduk. Tapi bukan karena menyerah, melainkan karena ketakutan.
Di akhir hari, Roky duduk sendirian di balkon kompleks Etherion. Teya mendekat, duduk di sampingnya.
"Kau lelah."
"Aku takut."
"Takut gagal?"
"Takut semua ini… cuma sia-sia."
Teya menggenggam tangannya. "Kau tahu, aku dulu tidak percaya pada ide persatuan. Aku pikir itu omong kosong idealis. Tapi waktu kau berdiri di depan semua ras itu, dengan suara gemetar tapi mata jernih… aku mulai percaya."
Roky menatapnya. "Apa kau masih percaya sekarang?"
"Tidak." Teya tersenyum kecil. "Sekarang aku berjuang untuk itu."
Malam itu, kabut kembali datang.
Tapi kali ini, bukan untuk menyerang.
Kabut membentuk tulisan raksasa di langit, terbaca dari semua wilayah dunia:
"Yang lemah akan terseret. Yang ragu akan terbelah. Yang menyatu akan diuji. Ini adalah Ujian Terakhir Etherion."
– Velgar Tharn
Dan perang yang selama ini berada dalam bayangan… kini akan memasuki terang.