Cherreads

Chapter 1 - Bab. 1 Awal yang tak benar benar Usai

Hujan sore itu turun seperti biasa—tak terlalu deras, tapi cukup membuat jendela kafe kecil itu dipenuhi embun. Tio duduk sendiri di sudut ruangan, dengan segelas kopi yang sudah mendingin sejak sepuluh menit lalu. Pandangannya kosong, menatap keluar. Tapi pikirannya, tak ada di luar sana. Ia terjebak di masa lalu.

"Kalau kamu suka hujan, berarti kamu suka hal-hal yang tenang dan dingin," kata Sarah dulu, sambil menyentuhkan jarinya di kaca jendela, menggambar hati kecil.

Itu lima tahun lalu.

Sekarang, yang tersisa dari hati kecil itu hanyalah kenangan yang menempel di pikirannya seperti noda yang tak bisa hilang. Meskipun Tio sudah mencuci ulang hari-hari mereka dalam ingatannya, tetap saja... Sarah ada di mana-mana.

Waktu memang tak pernah sepenuhnya menyembuhkan. Ia hanya membuat luka-luka itu belajar diam.

Sarah adalah awal. Awal dari banyak hal yang Tio pelajari: jatuh cinta, kehilangan, dan... pura-pura baik-baik saja.

Mereka bertemu di kampus—sebuah pertemuan yang terlalu biasa untuk disebut takdir. Tapi takdir kadang menyelinap di balik hal-hal sederhana: tumpukan buku perpustakaan, meja makan kantin, atau senyum yang dilemparkan tanpa niat.

Sarah mencuri hati Tio bukan karena ia sempurna, tapi karena ia terasa seperti rumah. Hangat, akrab, dan membuat segalanya terasa tenang. Tapi seperti rumah yang tak punya pondasi kuat, semuanya roboh saat badai datang.

Tio masih ingat malam itu. Saat kata "selesai" terdengar dari mulut Sarah. Tidak dengan teriakan. Tidak dengan air mata. Hanya dengan bisikan yang sangat pelan—tapi menghancurkan dengan keras.

"Aku capek, Tio..."

Tiga tahun telah berlalu sejak hari itu. Tapi sebagian dirinya masih tertinggal di hari itu. Dan mungkin akan selalu tertinggal.

"Boleh duduk di sini?"

Sebuah suara menariknya kembali ke dunia nyata. Tio menoleh. Seorang perempuan berdiri di depannya, dengan senyum ragu. Rambutnya dikuncir sederhana. Bukan Sarah. Tapi matanya mengingatkan Tio pada seseorang...

Bukan. Ini bukan waktunya berpikir begitu.

Tio mengangguk pelan. "Silakan."

Dia tak tahu bahwa perempuan itu—Dinda—akan menjadi babak terakhir dari perjalanan panjangnya. Tapi sebelum sampai ke sana, masih ada satu nama yang akan muncul di lembar-lembar berikutnya: Tari.

Untuk saat ini, Tio hanya bisa menatap kopi yang mendingin, dan kenangan yang tak pernah benar-benar padam.

Karena kadang, pertanyaan terbesar dalam hidup bukanlah "siapa yang kita cintai", tapi "apakah kita berani mengungkapkan?"

Atau tetap memilih diam?"

More Chapters