Cherreads

Chapter 1 - BAB 1

Mojokerto menjelang malam. Angin menggerakkan daun jati yang rontok di pelataran sebuah bangunan tua berarsitektur kolonial. Bangunan itu pernah menjadi balai kota zaman Belanda. Sekarang, ia adalah jantung dari sesuatu yang tak tercatat dalam sejarah—Jawa Dwipa.

Tidak ada plang. Tidak ada bendera. Tidak ada tanda siapa pun boleh masuk.

Di balik pintu tebal dari kayu jati itu, duduk seorang pria paruh baya mengenakan beskap abu tua. Rambutnya licin disisir ke belakang, matanya tenang tapi dalam. Namanya: Raden Umar Yahya.

Siapa pun yang mengenalnya di permukaan akan menyebutnya sebagai walikota Mojokerto. Namun bagi segelintir orang yang tahu, ia adalah Pemimpin Utama Jawa Dwipa, organisasi penjaga keseimbangan gaib dan sejarah yang telah hidup sejak ribuan tahun silam—sejak tatanan lama Nusantara masih ditulis dengan darah dan mantera.

Ruangannya bersih. Teratur. Di salah satu dinding tergantung peta tua—pulau-pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatra yang tak ditandai nama kota, melainkan garis energi.

Malam itu, seorang lelaki tua bersurban putih masuk dengan sopan. Di tangannya ada amplop lusuh bersegel kain merah. Tanpa suara, ia menyerahkannya. Raden Umar menerimanya tanpa bertanya.

Ia membuka surat itu perlahan. Tangannya sedikit gemetar.

"Waktu telah mendekat. Dua penjaga akan datang membawa bisikan dari masa lalu. Dengarkan mereka, karena dunia telah kembali berdenyut di bawah bayangan.– U."

Ia tak perlu menebak siapa yang menulis. Hanya satu orang yang menandatangani huruf "U."Nenek Umara. Penasihat tertua Jawa Dwipa. Buta sejak lahir. Namun mampu melihat hal-hal yang tak bisa ditangkap cahaya.

Raden Umar menatap langit Mojokerto dari balik jendela. Lampu-lampu kota seperti kunang-kunang yang tersesat.

Ia berkata pelan, seakan hanya kepada malam:

"Berarti... kau akan datang juga. Guru dari guru-guru."

Tiga hari kemudian.Seseorang mengetuk pintu belakang markas.

Dua sosok berdiri di sana.

Yang pertama, lelaki tua berpakaian seperti pengelana. Wajahnya keriput tapi sorot matanya menembus waktu. Ia tersenyum pelan, anggukan kepala seperti orang yang tak perlu memperkenalkan diri.

Yang kedua, pemuda dengan rambut gimbal acak-acakan, tubuh kurus, dan mata tajam. Ia tak berbicara. Tak juga menunjukkan emosi. Seperti batu.

Raden Umar membuka pintu sendiri. Ia tak berkata-kata.

Orang tua itu hanya bicara satu kalimat, suaranya lembut tapi menggetarkan:

"Apakah Nenek Umara sudah memberitahumu?"

Raden Umar mengangguk pelan.

Orang tua itu melanjutkan:

"Kita akan mulai mencari mereka. Tapi tidak tergesa.Kita akan mulai dengan diam."

More Chapters