Bab 1-Medina Mulrat
Restoran Wan Li terlihat sangat ramai. Berduyun-duyun pengunjung datang dan pergi. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, lajang dan berpasangan, hilir mudik silih berganti keluar dan masuk restoran untuk mencicipi dim sum terbaik di Beijing.
Satu hal yang bisa dipastikan dari para pengunjung; semua kaya. Tidak ada yang miskin. Orang miskin tidak dilarang masuk. Hanya saja mereka harus berpakaian rapi. Dan dompet yang penuh berisi lembaran-lembaran Yuan.
Para pelayan yang berjumlah puluhan orang sibuk mondar-mandir membawa pesanan tamu restoran. Sesekali mereka berhenti untuk bersandar sejenak di lorong kecil menuju dapur yang besar. Menyusut peluh di leher dan dahi mereka yang berminyak.
Di dapur yang nyaris seukuran seperempat lapangan bola, beberapa chef dan juru masak bekerja tanpa henti. Dan tanpa bicara. Di sudut dapur yang luas, Kepala Chef berdiri mengawasi. Setiap kali ada yang hendak buka mulut, entah untuk bicara atau menyorongkan sepotong makanan, Kepala Chef akan menabuh sebuah tambur kecil namun bersuara besar yang sengaja dipasang di sudut ruangan sebagai warning take & talk.
Dalam sehari, tambur itu tidak boleh berbunyi lebih dari 3 kali. Jika terjadi, maka siap-siap para chef dan juru masak mendapatkan 2 jam kerja tambahan mendengarkan ceramah Kepala Chef sampai mereka bosan dan memohon-mohon untuk pulang. Kepala Chef sangat mahir memasak tapi sama sekali tidak mahir berbicara. Ceramah 2 jam itu seperti mendengarkan bayi sedang latihan bicara.
Manajer restoran, seorang pria botak berbaju necis, berdiri di sebelah kasir. Mengamati orang-orang keluar masuk restoran. Matanya yang kecil sangat teliti. Tidak satupun akan lepas dari pengamatannya. Baju pelayan yang kedodoran, remah makanan yang terjatuh, sampai pelanggan yang mengeluh karena kepanasan. Kasir di sebelahnya adalah seorang perempuan tinggi langsing, cantik dan bermata Uygur. Namanya Medina Mulrat. Lajang berusia 24 tahun lulusan sekolah pariwisata Beijing yang bekerja di restoran Wan Li hampir 2 tahun ini.
Restoran Wan Li adalah restoran terkemuka dan sangat disukai para penggemar dim sum di seantero Beijing. Bahkan mungkin sedaratan China. Rasanya tidak ada yang bisa menandingi. Karena itulah restoran bergaya klasik yang berada di Renaissance Beijing Wangfujing Hotel itu tidak pernah sepi. Sejak buka jam 11 pagi sampai tutup jam 11 malam Restoran Wan Li selalu ramai.
Medina Mulrat atau biasa dipanggil Medina adalah gadis perantauan dari Xinjiang. Latar belakang keluarganya yang pekerja keras membuatnya juga menjadi seorang pekerja keras yang tak mengenal lelah. Setelah lulus kuliah, Medina melamar kerja ke sana kemari agar tidak lagi membebani orang tuanya yang seorang petani biasa. Medina diterima bekerja di Wan Li sebagai pelayan. Etos kerja dan dedikasinya yang luar biasa membuat manajer restoran mempromosikan Medina sebagai kasir.
Gadis cantik dan eksotis itu cepat beradaptasi dengan tanggung jawab barunya. Matematika adalah mata pelajaran favoritnya sehingga bekerja sebagai kasir membuatnya nyaman karena dia menyukai angka-angka.
Sejak kecil Medina dididik secara keras oleh Ayahnya. Meskipun berasal dari etnis minoritas di China tapi Ayah Medina mengharuskan Medina belajar ilmu bela diri kungfu yang merupakan martial art asli China Daratan sejak masih sekolah dasar. Gadis itu tumbuh sebagai remaja yang tangguh dan tak mengenal takut. Kuliah dan akhirnya bekerja di kota metropolitan sebesar Beijing tidak menakutkan bagi Medina Mulrat. Dia bisa menjaga diri dengan baik.
Pernah suatu saat dia diganggu oleh beberapa pemuda yang mabuk sepulang kerja. Tendangan dan pukulannya berhasil membuat tiga pemuda begajulan itu masing-masing kehilangan dua buah giginya!
Medina agak santai. Puluhan tamu masih makan dan belum ada satupun yang melakukan proses pembayaran. Gadis itu melirik handphonenya dengan acuh. Dia memang hanya memakai handphone jika benar-benar perlu saja. Itupun hanya untuk telpon orang tua. Bisa dihitung dengan jari dalam sehari gadis cantik itu menggunakan handphone.
Sudah lama Medina memang tidak menyukai yang namanya handphone. Dia bahkan lebih menyukai menelpon ayah dan ibunya menggunakan telepon umum di kios telepon. Satu prinsip yang dipegangnya teguh hingga kini. No Social Media, No Internet, No Application! Kalaupun terpaksa harus berselancar di dunia maya, Medina memilih membuka laptopnya. Gadis itu bisa berjam-jam di depan laptop hanya untuk memperdalam rumus-rumus matematika. Bukan main internet atau semacamnya.
Aneh memang! Kuliah di pariwisata tapi sangat menyenangi Matematika. Medina terkadang tersenyum sendiri jika melihat caranya menjalani hidup. Instagram, Baidu, Tiktok, dan semacamnya bagi Medina adalah kesia-siaan. Membuang waktu saja. Dia lebih menyukai tenggelam dalam rumus-rumus rumit Persamaan Gelombang, Transformasi Fourier, Ekuivalensi Massa-Energi, Persamaan Friedmann, dan Teori limit informasi Shannon.
Medina bahkan pernah memenangkan beberapa kali perlombaan Matematika Internasional yang diselenggarakan oleh IMO (International Math Olympiad), GBMO (Global Business Mathematics Olympiad), WMI (World Mathematics Invitational), IASO (International Applied Science Olympiad). Medina masih menyimpan semua sertifikat dan trophynya. Sebuah pencapaian yang menyenangkan bagi seseorang yang sangat menyukai Matematika.
Dunia seolah berhenti saat Medina menyelami semua fungsi rumus-rumus tersebut. Gadis itu mempunyai koleksi kecil perpustakaan di kamar apartemennya. Semua buku-buku Matematika. Kecuali satu buku Al-qur'an yang berada di urutan pertama rak bukunya.
Medina mengangkat kepala. Ada sedikit kegaduhan di ruang VIP. Entah apa. Tapi dia tidak beranjak melihatnya. Tugasnya di meja kasir tak boleh ditinggalkan tanpa seizin manajer. Medina melihat tubuh gemuk sang manajer berusaha berlari mencapai sumber kegaduhan di ruang VIP. Medina kagum pada manajernya. Meski bertubuh sangat bulat tapi fokusnya pada pekerjaan sangat tinggi. Disiplin dan tepat waktu. Cepat mencari solusi dan mengambil keputusan apabila berkenaan dengan kebutuhan tamu.
Sang Manajer terbelalak lebar. Begitu memasuki ruang VIP, dilihatnya seorang Ibu sedang berusaha keras mengguncang-guncang tubuh anak gadisnya yang masih remaja. Di sebelahnya, sang ayah hanya terpaku diam seolah tidak paham apa yang sedang terjadi. Tatapannya kosong dan mimik wajahnya sangat datar.
Si Ibu yang dari tadi membuat kegaduhan dengan teriakan-teriakannya, semakin histeris! Anaknya yang kedua, masih berumur 8 atau 9 tahun tiba-tiba kejang-kejang dengan mata membeliak lebar! Di tangannya tergenggam handphone yang masih mengeluarkan suara-suara game yang tadi dimainkannya. Selang beberapa belas detik, kejang-kejang si anak berhenti. Anak itu mengangkat mukanya seolah tidak terjadi apa-apa. Si ibu menjerit kencang. Anaknya memang tidak kejang-kejang lagi tapi tubuhnya diam kaku dengan ekspresi datar. Sama seperti kakak dan ayahnya. Si Ibu semakin panik dan histeris!
Sang Manajer melambai ke arah pelayan yang terdekat dengannya untuk membantu menenangkan sang Ibu. Ibu muda itu malah histeris sambil terus memandangi layar handphonenya. Tangannya sibuk memencet tombol kontak. Barangkali mencoba menghubungi dokter keluarga. Tapi saat telah tersambung, ibu muda itu malah mematung tidak mengeluarkan suara. Dari sudut mulutnya mengalir air liur berwarna kehitaman. Matanya terpejam seolah sedang menahan rasa sakit di kepala yang teramat sangat.
Setelah itu kejadian yang serupa dengan anak lelakinya menimpa ibu muda itu. Tubuhnya mendadak kejang-kejang hebat. Sang manajer dan pelayan buru-buru memegangi si Ibu yang sepertinya hendak pingsan.
Tapi tidak. Si Ibu tidak pingsan. Kejang-kejang tubuhnya hanya berlangsung sebentar saja. Si Ibu muda membuka matanya. Pandangannya tidak lagi bercahaya. Kosong. Raut wajahnya hampa seolah tak punya emosi sama sekali.
Pelayan itu berusaha mengajak si Ibu muda bicara dan mengguncang bahunya. Tidak ada respon. Pelayan itu beralih ke si Ayah. Berharap si Ayah segera mengambil tindakan. Tapi sama. Si Ayah juga tidak merespon sedikitpun kata-kata pelayan restoran.
Sang Manajer dan pelayan saling berpendangan sejenak.
"Tunggu di sini! Awasi mereka! Aku akan menghubungi rumah sakit!"
Suara sang Manajer terdengar gugup dan panik.
*