Hidup tak pernah kembali seperti semula setelah malam itu. Bukan karena dunia berubah, tapi karena Abbas telah berubah.
Sudah satu bulan sejak ia kembali dari dunia lampu kehidupan. Sejak monster kabut dihancurkan dan dunia nyata diselamatkan dari kegelapan yang nyaris menyelimuti. Namun, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja.
Di dalam dirinya, Abbas masih merindukan dunia itu dunia tempat ia belajar kembali mencintai hidup, tempat ia bertemu teman-teman sejati, tempat ia bertarung bukan hanya demi nyawa, tapi demi makna.
Tapi di sini, di dunia nyata, ia punya sesuatu yang lebih penting kesempatan kedua.
Dan cinta yang pernah ia buang, kini hadir kembali. Nayla.
Sore itu, Abbas duduk di bangku taman kota, ditemani angin yang bertiup pelan dan aroma bunga kamboja dari sudut taman. Di tangannya, kalung dengan liontin bulat itu masih tergenggam. Kini tak bersinar, tapi ia tahu, di dalam benda kecil itu tersimpan kenangan yang tak tergantikan.
Langkah pelan mendekatinya. Nayla.
Ia tersenyum. “Sudah kupikir kau akan datang lebih awal.”
“Aku lihat kau perlu waktu sendiri,” balas Nayla sambil duduk di sampingnya. “Kau masih memikirkannya?”
“Selalu.”
“Aku juga. Tapi bukan karena aku ingin kembali ke sana… melainkan karena aku merasa kita tak pernah benar-benar pergi darinya.”
Abbas menatapnya. “Maksudmu?”
Nayla menarik napas, lalu menunjuk ke arah sekelompok anak kecil yang sedang bermain. “Lihat mereka. Tertawa. Berlari. Hidup. Kita dulu juga begitu, kan? Sebelum semuanya berubah. Sebelum kita tumbuh dan kehilangan arah.”
Ia menoleh, menatap Abbas dalam-dalam.
“Lampu itu… bukan hanya benda ajaib. Ia adalah cermin. Menunjukkan siapa kita seharusnya, siapa yang kita lupakan, dan siapa yang harus kita perjuangkan. Ia membawamu pergi bukan untuk melarikan diri. Tapi untuk kembali dengan utuh.”
Abbas menunduk. Kalimat itu menggema dalam jiwanya. Nayla selalu bisa mengatakannya lebih baik. Kata-kata yang tepat. Rasa yang jujur.
“Aku ingin menulis tentangnya,” ujar Abbas tiba-tiba.
Nayla tersenyum. “Kisahmu?”
“Bukan. Kisah mereka. Zian, Rinya, Tuan Elwan… dan semua orang yang aku tinggalkan di sana. Mereka pantas dikenang.”
Nayla menggenggam tangannya. “Tulis. Tapi jangan hanya tulis kisah heroik. Tulis juga tentang rasa takutmu. Tentang penyesalanmu. Tentang bagaimana kau ingin menyerah tapi tak jadi. Karena itulah kekuatan sesungguhnya.”
Abbas memejamkan mata. Dalam bayangannya, ia melihat wajah-wajah itu. Zian yang jenaka dan berani. Rinya yang pendiam tapi setia. Dan tentu saja, Nayla versi lain dari Nayla yang mengorbankan segalanya demi menyelamatkannya.
Mata Abbas berkaca-kaca.
“Mereka memberiku harapan. Dan kau di kedua dunia menjadi cahaya yang menuntunku keluar dari kegelapan.”
Nayla tak menjawab, hanya memeluknya erat.
Malam itu, Abbas membuka laptop dan mulai mengetik.
Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai penebusan. Kata demi kata, ia menuliskan perjalanan itu. Ia tidak memolesnya. Ia biarkan luka-luka itu terlihat. Ia biarkan tangis dan tawa hadir sebagaimana mestinya.
Setiap halaman adalah nyawa. Setiap paragraf adalah jejak kaki.
Ia menulis tanpa henti. Seperti hujan yang tak bisa ditahan. Dalam tiga hari, ia menyelesaikan draf pertama. Dan di halaman terakhir, ia menuliskan:
“Lampu kehidupan bukanlah benda. Ia adalah kita. Saat kita berhenti percaya, cahayanya padam. Tapi saat kita memilih untuk bangkit, walau tertatih—lampu itu menyala. Untuk itu, aku akan terus berjalan.”
Beberapa bulan kemudian, buku itu diterbitkan. Judulnya: “Lampu Kehidupan”.
Yang mengejutkan, buku itu menyentuh banyak orang. Bukan karena keajaiban dunia lain yang diceritakan, tapi karena perjuangan manusia di dalamnya terasa nyata.
Banyak pembaca mengaku bahwa mereka merasa seperti Abbas. Tersesat. Patah. Lelah. Tapi saat membaca kisahnya, mereka merasa ada harapan lagi. Bahwa mungkin, di balik penderitaan, ada jalan pulang. Ada cahaya.
Abbas mulai diundang ke berbagai acara. Bukan sebagai penulis terkenal, tapi sebagai seseorang yang berhasil keluar dari jurang tergelap hidupnya.
Ia bertemu dengan orang-orang yang depresi, yang nyaris bunuh diri, yang merasa tak ada lagi harapan. Dan di sana, Abbas tidak memberi nasihat. Ia hanya menceritakan kisahnya. Tentang lampu yang tak pernah padam.
Suatu ketika, seorang gadis remaja menghampirinya usai seminar.
“Aku kehilangan ibuku dua bulan lalu,” katanya. “Aku berpikir untuk ikut dia. Tapi setelah membaca bukumu… aku mulai menulis surat untuk ibuku setiap malam. Aku belum sembuh, tapi… aku masih hidup. Terima kasih.”
Abbas memeluknya. “Teruslah menulis. Itu akan jadi cahaya untukmu.”
Di rumah, Abbas semakin dekat dengan Nayla. Kini mereka tinggal bersama di sebuah rumah kecil sederhana di pinggir kota. Setiap pagi mereka menyiram bunga. Setiap malam mereka berbagi cerita. Bukan kehidupan yang megah, tapi penuh makna.
Suatu malam, saat hujan turun perlahan dan listrik sempat padam, mereka duduk bersisian di depan lilin yang menyala di meja.
“Apa kau pernah ingin kembali ke sana?” tanya Nayla.
Abbas diam sejenak. “Pernah. Tapi hanya untuk mengucapkan terima kasih.”
“Kau percaya suatu saat akan bertemu mereka lagi?”
Abbas tersenyum. “Mungkin tidak di dunia ini. Tapi aku percaya jiwa yang terhubung tidak akan pernah benar-benar berpisah.”
Nayla meletakkan kepalanya di pundak Abbas.
“Aku bangga padamu.”
“Dan aku bersyukur kau tak pernah pergi.”
Beberapa tahun kemudian…
Di rak toko buku, "Lampu Kehidupan" masih berdiri tegak. Kini sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Orang-orang dari berbagai belahan dunia membacanya. Ada yang tersenyum. Ada yang menangis. Ada yang diam lama sebelum menutup buku itu dengan dada penuh kehangatan.
Abbas kini tak lagi mengejar kesuksesan. Ia menulis karena ingin menyalakan lampu-lampu kecil di hati manusia yang sedang gelap.
Ia tahu, hidup masih akan sulit. Akan ada masa-masa kehilangan. Akan ada hari di mana dirinya merasa lelah lagi. Tapi kali ini, ia tak akan sendirian. Ia punya Nayla. Ia punya kenangan. Ia punya cahaya.
Dan suatu malam, saat ia berjalan sendiri di tepi danau, Abbas berhenti. Di permukaan air, ia melihat pantulan cahaya kecil. Lalu sebuah suara familiar terdengar di telinganya, lembut, seperti berbisik:
“Terima kasih telah melanjutkan hidup, Abbas.”
Ia menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Tapi ia tahu siapa itu.
Dan malam itu, ia tertawa kecil. Hujan turun perlahan. Dan untuk pertama kalinya, Abbas merasa benar-benar damai.
Penutup
Di dunia ini, ada banyak kegelapan. Tapi juga ada lampu-lampu kecil. Lampu yang tak bisa kita lihat, tapi bisa kita rasakan di hati, di tawa seseorang, di pelukan, di tulisan, di lagu, bahkan di air mata.
Lampu kehidupan bukanlah benda. Ia adalah cinta. Harapan. Dan keberanian untuk hidup.
Dan selama ada satu orang saja yang memilih untuk tidak menyerah, maka...
Lampu itu tidak akan pernah padam.
Tamat.