Cherreads

Chapter 24 - Bab 24 - Jejak yang Hilang

Udara dalam penginapan itu masih mengandung sisa aroma debu dan bara sihir. Kursi-kursi retak, tembok berjelaga. Di sudut ruangan, Bhirendra duduk bersandar, diam. Kepalanya menunduk, tangan terkulai di lutut. Tak satu pun kata keluar dari mulutnya sejak pertarungan itu berakhir.

Radeeva berdiri di tengah ruangan, rahangnya mengeras. Matanya tak lepas dari sosok yang ia benci tapi juga merupakan sahabat masa kecilnya, yang kini tampak seperti bayangan dirinya sendiri.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Radeeva dengan suara yang lebih mirip gertakan.

Bhirendra hanya menjawab dengan lirih, "Dia kehilangan kendali."

"Tapi kau... menyerangnya."

Bhirendra menatap lurus ke depan, tak membantah, tak membenarkan. Hanya diam. Tapi di matanya, yang biasanya tenang seperti batu zamrud Swantara, ada sesuatu yang retak. Retakan yang tak bisa disembunyikan.

"Reina bukan orang yang sembarangan menyerang tanpa sebab," lanjut Radeeva. “Kau tahu itu. Tapi kau memilih untuk menekannya. Menuduhnya.”

Bhirendra masih diam, namun kali ini napasnya terlihat lebih berat. Ada sesuatu yang hendak keluar, tapi tertahan di dasar tenggorokan.

"Aku tahu kau selalu seperti ini," suara Radeeva menurun, lebih tenang, namun penuh tekanan. "Kau tidak pandai berkata-kata. Tapi bahkan diam pun punya cara untuk menyakiti orang, Bhira. Kau menyakitinya."

Bhirendra memejamkan mata. Tak membela diri.

"Apa kau tidak sadar? Dia mengikat jiwanya dengan artefak hanya karena percaya padamu. Kau, yang bahkan tak bisa memberi sepotong kepercayaan kembali."

Masih tidak ada respons. Hanya tangan kanan Bhirendra yang mengepal perlahan di atas lututnya.

Radeeva mendekat. Ia tahu kata-katanya masuk, meski tak ditanggapi. "Kalau aku yang jadi dia, aku pun akan pergi. Tapi Reina bukan aku. Dia lebih tabah dan lebih sabar daripada yang kau sadari."

Bhirendra membuka mata, akhirnya. "Aku akan mencarinya," ucapnya pendek, pelan, namun tegas.

Radeeva menghela napas. Ia tak puas dengan reaksi itu. Tapi ia tahu, itulah batas kemampuan Bhirendra mengekspresikan dirinya. "Kalau kau menemukannya... pastikan kau tidak datang sebagai Panglima," kata Radeeva sebelum berbalik menuju pintu.

"Datanglah sebagai seseorang yang layak dipercaya." Langkah kaki Radeeva menghilang di ujung lorong, meninggalkan ruangan yang kembali sepi.

Sendirian, Bhirendra tetap duduk. Kepalanya menunduk lagi, tetapi kali ini bukan karena lelah. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang runtuh pelan-pelan.

Reina telah melakukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan: mempercayai dia sepenuhnya, dan ia sendiri, hanya bisa membalasnya dengan curiga.

Bhirendra menatap tangannya, yang pernah ia gunakan untuk melindungi rakyatnya, pasukannya... dan hari ini, melukai satu-satunya orang yang mungkin mencoba menyentuh hatinya.

Apa yang sudah kulakukan? batinnya lirih. Ia menutup mata dan untuk pertama kalinya, dalam sunyi yang panjang, Bhirendra merasa... sesal.

--

Hari kedua berlalu begitu saja sejak Reina menghilang. Langit Swantara tak lagi jernih. Kabut tipis menggantung sepanjang siang dan malam, seolah meniru benang kusut yang memenuhi kepala dua lelaki yang kini duduk bersandar di tembok penginapan Lembayung Niralasa.

Bhirendra dan Radeeva telah berulang kali menggunakan Raksana Yatra untuk menjelajah hingga batas wilayah roh dan reruntuhan sihir tua. Namun Reina tetap tak terlacak, tak terlihat, tak terdengar. Tak ada jejak. Hanya hening dan gema lelah yang mereka bawa kembali setiap pulang.

Chandani yang sudah sehat hanya bisa memandangi dua pria itu dengan wajah cemas dari ambang pintu. Tatapan mereka semakin kosong, dan sorot mata Bhirendra, yang biasanya tenang bak danau beku, kini seperti pecahan kaca. Retak-retak. Tajam. Namun tak ada yang benar-benar bisa ia ungkapkan.

“Tak ada pilihan lain, Bhira,” ujar Radeeva akhirnya, duduk lemas di lantai koridor. Napasnya berat. “Kita harus menghubungi Panatua Mahawira. Mungkin... beliau bisa menemukan Reina.”

Bhirendra mengangguk pelan. Gerakannya lambat, seperti orang yang pikirannya berjalan jauh dari tubuhnya.

“Kau tahu kita tak bisa menghubungi beliau langsung. Benteng sihir Menara Cahaya tidak bisa ditembus, bahkan oleh Talarka. Kecuali Reina... Dia sendiri yang memanggilnya.” Suaranya rendah, serak, nyaris patah saat menyebut nama Reina.

Radeeva mendengus lirih, berdiri, lalu berjalan mondar-mandir. Lengan bajunya kusut, dan wajahnya kehilangan warna jenaka yang biasanya hadir meski dalam situasi buruk.

Tak lama kemudian, ia menarik Talarka dari genggaman Bhirendra tanpa bicara banyak. Jari-jarinya terampil merapal urutan mantra pemanggil. Di ujung pantulan sihir itu muncul suara Putra Mahkota, saudara tirinya dari ibu yang berbeda.

“Aku tak akan memutar kata. Kami butuh bantuanmu,” ujar Radeeva langsung, suaranya lantang namun tidak kasar. “Reina... menghilang. Dua hari ini kami mencarinya. Tanpa hasil.”

Suara Putra Mahkota menegang. Ia terdiam sejenak, lalu bertanya pelan, “Apakah dia sengaja pergi?”

“Tidak.” Suara Bhirendra kini masuk ke dalam percakapan, berat dan dingin. “Ia pergi karena terdesak. Dan, karena aku tidak mendengarkannya.”

Talarka menjadi sunyi sejenak.

“Kalau begitu,” suara Putra Mahkota pelan, “mungkin, ia kembali ke dunianya.”

Ucapan itu menghantam seperti palu.

Radeeva dan Bhirendra saling berpandangan. Diam. Penuh kemungkinan buruk yang tak ingin mereka akui.

“Tidak,” gumam Bhirendra akhirnya. “Tidak semudah itu. Jika dia kembali, resonansi dari Wadhita Arkanasya juga Cakra Adhiwara pasti meninggalkan jejak dan aku tidak merasakannya, tak satu denyut pun.”

Putra Mahkota mengangguk pelan, lalu berkata, “Akan ku sampaikan hal ini kepada Panatua Mahawira. Tapi, kalian harus bersiap. Kalau benar Reina telah melanggar batas antara dua dunia, hukuman dari Majelis Cahaya tidak akan ringan.”

Talarka padam. Radeeva mengembuskan napas panjang. Sementara itu, Bhirendra berdiri diam. Pandangannya kosong, tapi dalam dadanya, ada sesuatu yang bergolak. Bukan rasa bersalah semata. Tapi kehilangan yang terasa terlalu dalam untuk bisa dijelaskan dengan logika militer apa pun.

Beberapa menit setelah percakapan mereka berakhir, Talarka yang tergeletak di atas meja mulai bergetar. Cahaya keemasannya menguap ke udara, membentuk pusaran cahaya yang kemudian memunculkan suara Maharaja, dalam nada yang menggelegar dan menyulut udara di sekitar mereka menjadi lebih panas dari bara api.

"Bhirendra Danadyaksa! Dan kau juga, Radeeva! Apakah kalian lupa siapa diri kalian dalam tatanan Swantara?! Gadis Arunika itu adalah tanggung jawab kalian! Dan sekarang dia... menghilang?!"

Bukan hanya suara yang mengguncang, tapi juga tekanan sihir yang menyertai kemarahan itu. Barang-barang kecil di sekeliling ruangan bergetar. Kaca jendela mengeluarkan suara nyaring.

Namun baik Bhirendra maupun Radeeva tidak menjawab. Mereka hanya berdiri diam. Menahan. Menerima. Karena memang benar, kesalahan ini ada pada mereka.

Tak lama kemudian, suara Maharaja lenyap digantikan oleh suara yang jauh lebih tenang, bergetar tua namun penuh wibawa.

“Sudah, Paduka,” ucap Panatua Mahawira. “Jangan lempar bara pada hati yang sudah retak.”

Cahaya dalam Talarka berubah menjadi biru keperakan.

“Aku bisa memastikan satu hal,” ujar Mahawira.

“Reina masih berada dalam lingkup dimensi Swantara. Ia tidak pergi ke dunia asalnya, tidak juga melewati batas pelindung. Tapi... ia tak bisa ditemukan karena satu hal: Cakra Adhiwara telah menumbuhkan perisai perlindungan yang bahkan Reina sendiri belum mampu mengendalikannya. Perisai itu membuatnya tak terlihat oleh siapa pun... selama ia tidak ingin ditemukan.”

Seketika, suara itu menghilang bersama cahaya Talarka, menyisakan keheningan panjang. Talarka kembali menjadi benda mati yang dingin di atas meja.

“Jadi, kita hanya bisa menunggunya kembali dengan kemauannya sendiri,” ujar Radeeva, pelan namun pasrah. Ia membungkuk sedikit, mengambil napas dalam, dan berbalik menuju kamarnya. Langkahnya gontai, namun tekadnya belum hilang.

Bhirendra tetap berdiri di tempat, seperti bayangan tembok itu sendiri. Matanya tak berkedip menatap tempat di mana Talarka tadi bersinar. Sorot matanya tak bisa ditebak, antara kesedihan, kekesalan, dan kerinduan yang bahkan belum sempat ia akui.

Dari ambang pintu, Chandani melangkah masuk. Wajahnya terlihat ragu, namun tekad menguat dalam langkahnya. Ia berdiri di dekat Bhirendra, lalu membuka mulut.

“Panglima...” suaranya pelan. “Saya... saya tidak ingin kembali ke Aralama.”

Bhirendra tak menoleh. “Sudah malam. Kembalilah ke kamarmu. Aku sudah mengirim kabar ke pihak Aralama untuk menjemputmu. Ini bukan tempat bagi seseorang sepertimu.”

Namun Chandani tak bergeming. “Saya... takut,” bisiknya. “Jika saya kembali ke sana, Panarasa Hitam bisa menyerang lagi. Saya tak akan selamat kedua kalinya.”

Kali ini Bhirendra menoleh. Tatapannya tajam, penuh siaga seperti biasa, namun tak sepenuhnya dingin. “Ini bukan tempat berlindung. Kami sedang dalam pencarian. Perjalanan kami bukan sekadar menunggu di perbatasan dan berharap nasib membaik.”

Chandani menunduk, lalu berlutut perlahan. Gaun tipisnya berkerut di genggaman tangan. “Biarkan saya ikut kalian. Saya tidak akan membebani. Saya janji.” Pernyataan itu menggantung di udara. Terlalu berani, terlalu jujur.

Bhirendra memijat pelipisnya. Wajahnya menunjukkan lelah yang sulit ditutupi, tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang tak bisa ia pecahkan dalam diri gadis ini. Seperti teka-teki dengan potongan-potongan yang tak sesuai.

“Chandani,” ucapnya akhirnya, suaranya berat. “Tahukah kau bahwa kami bahkan tidak tahu siapa musuh kami sebenarnya? Bahwa setiap langkah kami bisa saja mengarah pada kematian, pengkhianatan, atau kehilangan?”

Gadis itu hendak membantah, namun suara Bhirendra tiba-tiba meninggi, menggebrak meja hingga Talarka jatuh ke lantai dan berguling.

“Ini bukan permainan dan aku tidak punya waktu untuk mendidikmu di tengah perang yang belum kami pahami. Kembalilah ke kamarmu. Dan, jika kau benar-benar ingin membantu, berdoalah agar dia kembali. Karena hanya dia yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”

Chandani terpaku. Matanya berkaca-kaca, namun ia tidak menangis. Perlahan ia bangkit, membungkuk dalam, dan tanpa sepatah kata lagi, ia melangkah mundur keluar dari ruangan.

Ketika pintu tertutup, Bhirendra menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap langit-langit yang gelap. Ia menarik napas panjang, mencoba mengatur denyut jantungnya yang kacau.

"Reina... kembalilah..." gumamnya lirih, hampir tak terdengar, seolah ia berbicara pada ruang kosong. Namun jauh di dalam dirinya, ia tahu ia bukan hanya menunggu Reina kembali.

Ia mengharapkannya.

More Chapters