Langit mendung menggantung sejak pagi. Udaranya lembab dan terasa berat, seperti menyimpan sesuatu yang belum tumpah.
Angga duduk di kursi beton pinggir taman kampus, mengenakan jaket hitam dengan hoodie terangkat. Di sampingnya, Dina datang tergesa membawa dua gelas kopi sachet dari kantin. Wajahnya tegang.
"Ini," katanya sambil menyodorkan satu gelas. "Gue dapat info dari Bima."
Angga menerima kopi itu dan menatap Dina dengan alis mengernyit. "Apa?"
Dina menyalakan ponselnya dan memperlihatkan tangkapan layar percakapan dengan seseorang bernama Tegar, teman angkatan Alvan yang kini sudah lulus dan kerja di luar kota.
“Alvan dulu sempat ikut komunitas eksklusif gitu. Namanya ‘Lingkar Garis Tiga’. Kegiatan mereka kayak ritual spiritual modern meditasi ekstrem, masuk ke bawah sadar, katanya bisa ‘tembus batas kesadaran’.”
“Tapi setelah satu kejadian tahun 2020, komunitas itu bubar. Satu anggotanya hilang… dan Alvan sempat dirawat psikiater kampus selama dua bulan.”
"Lo yakin itu berhubungan sama Windi?" tanya Angga pelan.
"Lo pikir ada banyak orang hilang secara misterius di tahun yang sama, dari angkatan yang sama, yang namanya juga Windi?" sahut Dina tajam.
Angga menghela napas panjang. Otaknya bekerja cepat. "Kita harus cari tempat kumpul komunitas itu."
Dina mengangguk. "Tegar bilang dulu mereka sering kumpul di rumah kosong dekat Sungai Ciliwung, di belakang kampus lama yang sekarang udah gak dipakai."
"Rumah tua itu?" Angga mengingatnya bangunan yang pernah terbakar separuh dan selalu dikerubungi nyamuk karena dekat rawa kecil. "Masih ada akses ke sana?"
"Gue udah kirim pesan ke Bima. Dia lagi di jalan," jawab Dina. "Kita ke sana sore ini."
Di kejauhan, suara petir menggelegar pelan.
Dan Angga tahu, langkah mereka selanjutnya akan menguak pintu lain pintu ke masa lalu yang selama ini dikubur diam-diam.
---
Rumah tua itu berdiri di ujung gang sempit, setengah tersembunyi di balik pohon bambu yang tumbuh liar. Cat dindingnya sudah mengelupas, jendela-jendelanya ditutupi seng, dan pintu depannya terganjal balok kayu melintang.
Langit mulai gelap saat Angga, Dina, dan Bima tiba di halaman. Suasana terasa sepi bukan sekadar sunyi, tapi seperti tidak ada makhluk hidup lain di sekitarnya. Bahkan suara jangkrik pun lenyap.
“Ini... tempatnya?” tanya Bima sambil menyipitkan mata.
“Menurut Tegar, iya,” jawab Dina. “Lingkar Garis Tiga sering kumpul di sini malam-malam.”
Angga menendang perlahan balok kayu di depan pintu dan mendorong daun pintu yang langsung berderit panjang, memekakkan telinga. Bau apek dan tanah basah menyambut mereka dari dalam.
Mereka masuk perlahan, senter HP menerangi lorong gelap yang dipenuhi debu dan jaring laba-laba.
Di ruangan utama, dindingnya dipenuhi coretan simbol. Beberapa seperti huruf kuno, lainnya menyerupai lingkaran dan segitiga yang saling bertautan. Di tengah ruangan, ada lingkaran hitam memudar yang terlihat seperti pernah digunakan untuk semacam ritual.
“Ini... bukan sekadar tempat nongkrong,” gumam Bima. Ia mengarahkan kamera dan memotret tiap sudut.
Angga berjalan ke dinding kanan, memperhatikan simbol paling besar lingkaran dengan tiga garis yang saling melilit di dalamnya. Ada ukiran samar yang mirip dengan pola di lehernya.
Ia membuka sedikit kerah bajunya dan menempelkan simbol itu ke depan ukiran di dinding.
Dina mendekat dan menahan napas. “Ga… itu mirip banget.”
“Bukan mirip,” kata Angga pelan. “Ini sama.”
Simbol yang muncul di tubuhnya ternyata identik dengan simbol di ruangan itu tempat di mana Windi, Alvan, dan kelompoknya pernah melakukan “ritus pembuka gerbang.”
“Kalau lambangnya sama…” bisik Dina, “berarti… lo juga bagian dari ritus itu?”
Angga menggeleng. “Gue gak pernah ikut apa-apa. Tapi Windi… mungkin dia udah tandai gue.”
Tiba-tiba, angin dingin berhembus dari jendela yang pecah di atas mereka, padahal semua udara tadi terasa mati. Lampu senter berkedip, dan suara pelan terdengar dari ruangan belakang…
Seperti seseorang sedang menangis.
Dina menatap Angga, dan Angga menatap ke arah suara itu.
“Lo denger juga, kan?” tanya Bima.
Angga mengangguk pelan. “Itu bukan gema. Itu nyata.”
Suara tangis itu memanggil mereka ke arah yang lebih dalam… dan lebih gelap.
---
Tangisan itu semakin jelas saat mereka melewati lorong sempit menuju ruang belakang. Di dinding, coretan-coretan simbol menjadi lebih padat, lebih kasar, seolah digoreskan dengan tergesa-gesa oleh tangan panik.
Bima mengangkat kameranya, tapi begitu merekam ruangan, layarnya langsung berwarna statis bergetar seperti gelombang radio rusak.
“Mati lagi...” gumamnya frustrasi. “Ini udah kejadian kedua.”
Di ujung lorong, sebuah pintu kayu lapuk terbuka sedikit. Angga mendorongnya pelan. Hembusan angin berbau kayu busuk menyambut mereka. Di dalam, hanya ada satu meja kecil yang penuh debu dan rak besi miring di sudut ruangan.
Namun, yang paling mencolok adalah lantai di tengah-tengah ruangan itu: sebagian ubinnya copot, membentuk rongga yang tertutup potongan triplek.
“Ini gak wajar,” ujar Dina. “Siapa yang nutup pakai papan beginian?”
Angga jongkok dan menarik papan itu dengan hati-hati. Di bawahnya, tersembunyi sebuah peti kayu kecil yang terbungkus kain hitam lusuh.
Dengan napas tertahan, ia mengangkat peti itu ke atas meja. Mereka bertiga saling pandang sejenak sebelum Angga membuka tutupnya perlahan.
Isinya: satu buku lusuh penuh coretan tangan, seikat tali hitam, dan potongan kecil kertas berisi simbol-simbol aneh yang sama seperti yang muncul di leher Angga.
“Ini... jurnal,” kata Dina sambil membuka lembaran pertama.
Tulisan tangannya rapi, tapi semakin ke halaman-halaman belakang, goresannya jadi berantakan. Banyak sketsa wajah, lingkaran, simbol gerbang, dan sesekali ada nama:
“Windi O.”
“Dia perantara.”
“Ritus gagal. Gerbang tetap terbuka.”
“Windi mulai berubah. Matanya seperti bukan manusia.”
Angga merasakan dingin menjalar ke tengkuk. Ia membaca salah satu halaman terakhir yang ditulis dengan tinta merah:
“Kalau aku hilang, ini karena dia. Tapi aku gak tahu dia siapa sekarang. Dia bukan Windi yang gue kenal.”
“Mereka bilang dia arwah... tapi gue rasa, dia lebih dari itu.”
Lembar terakhir hanya berisi satu kalimat:
“Kalau lo baca ini, lo udah terlalu dekat. Tutup ritus itu sebelum dia tarik lo ke sisi lain.”
Dina menutup buku perlahan.
Ruangan jadi sunyi kembali.
Lalu tiba-tiba, lampu HP Bima padam. Pintu kayu di belakang mereka menutup dengan bunyi BRAK!
Suara tangis itu berhenti.
Digantikan oleh bisikan lembut...
“Kalian gak seharusnya di sini.”
Mereka langsung berlari keluar dari rumah itu.
Tak ada yang bicara sepanjang jalan. Nafas memburu, peluh menetes, meski udara sore itu dingin seperti habis hujan. Wajah Angga pucat, matanya menerawang. Dina terus menoleh ke belakang, seolah khawatir sesuatu mengejar.
Sesampainya di parkiran motor kampus, mereka berhenti untuk menenangkan diri.
“Gue denger suara itu...” gumam Bima sambil menyalakan rokok, tangannya gemetar. “Itu bukan suara manusia.”
“Dia tahu kita baca bukunya,” ucap Dina lirih.
Angga diam.
Dari sejak mereka keluar dari rumah itu, ada rasa dingin yang menempel di dadanya. Bukan sekadar ketakutan… tapi seperti ada lubang menganga yang tiba-tiba terbuka di dalam dirinya.
---
Kosan – 22.45
Angga duduk sendirian di kamarnya. Dina dan Bima sudah pulang lebih dulu. Buku lusuh yang mereka temukan kini ada di mejanya, masih terbuka pada halaman yang penuh sketsa simbol.
Ia menyentuh tanda di lehernya.
Masih gelap.
Tapi kini… bentuknya semakin jelas. Lingkarannya makin rapi, dan ada satu garis baru yang melintang dari bahu ke dada. Seolah tubuhnya sedang “diisi” lambang yang belum selesai.
Angga membuka ponsel. Ia menyalakan kamera dan mengarahkan ke cermin.
Simbol itu bersinar samar di kamera meski tak terlihat di mata telanjang.
Wajahnya tampak asing di pantulan.
Lelah. Pucat. Tapi ada sesuatu yang lain… seperti bukan dirinya sendiri.
Lalu suara itu muncul dari belakangnya.
“Aku gak bermaksud membuatmu takut…”
Angga menoleh cepat.
Windi berdiri di sudut kamar, bayangannya samar, wajahnya sendu. Tapi kali ini, matanya tidak sekosong biasanya.
“Kamu ketemu tempat itu, ya?”
Angga menatapnya tajam. “Tempat lo dan Alvan ngerjain ritus itu?”
Windi tidak langsung menjawab. Ia berjalan pelan ke arah meja dan menyentuh buku lusuh itu dengan jemari pucatnya.
“Aku dulu... cuma ingin tahu. Tentang sisi lain hidup. Tentang tempat antara mimpi dan kematian. Tapi setelah kejadian itu… aku gak pernah kembali.”
Angga menghela napas, tangannya mengepal. “Kenapa lo gak cerita dari awal kalau ini semua... karena lo?”
Windi memejamkan mata. “Karena aku gak yakin... siapa aku sebenarnya sekarang.”
Angin tipis menerpa jendela. Tirai bergoyang perlahan.
Windi menatap Angga dalam-dalam, suaranya lembut seperti pecahan kenangan yang mengambang.
“Aku memang butuh bantuanmu. Tapi kamu harus tahu, Ga… kamu bukan cuma penyelidik. Kamu sekarang bagian dari ritus yang belum selesai.”
Angga menelan ludah. “Kalau gitu… yang tandai gue, lo?”
Windi diam. Tak mengangguk, tak menggeleng.
Tapi itu cukup.
Angga berdiri dari kursi, dadanya berdebar.
“Ada berapa orang lagi yang pernah ikut ritus itu?”
Windi memalingkan pandangan.
“Ada tiga.”
“Alvan… lo… dan satu lagi?”
Windi menatap ke luar jendela. “Orang yang tak pernah terlihat di catatan… tapi dia yang memulai semua ini.”
Angga mencengkeram meja. “Siapa dia?”
Windi berbisik:
“Orang yang bahkan aku sendiri... gak bisa ingat wajahnya.”
Dan untuk sesaat, tubuhnya mulai bergetar samar. Wajahnya berubah... sedikit lebih gelap. Lebih tak stabil. Seperti bayangan yang patah.
Angga mundur setengah langkah.
Lalu Windi memudar, perlahan.
Sebelum benar-benar lenyap, ia berkata pelan:
“Kalau kamu terus masuk lebih dalam… kamu gak cuma akan kehilangan ingatan. Tapi kehilangan siapa kamu sebenarnya.”
Angga berdiri sendiri dalam kamar.
Di meja, buku itu terbuka lebar. Simbol di lehernya berdenyut pelan, seperti nadi kedua.
Dan di cermin, untuk sepersekian detik… bayangannya sendiri tak menoleh bersamaan dengannya.
---